Sabtu, 13 Februari 2016

BELAJAR DARI SI BODOH


Orang berkata, kita harus bersedia belajar seumur hidup kita. "From womb to tomb," kata orang Inggris. Maksudnya, terus belajar tanpa henti, sampai ke mana saja. "Bahkan sampai ke negeri Cina," kata sebuah ayat suci.

Dan sekarang saya mau menambahi lagi. Yaitu, betapa kita harus bersedia belajar dari siapa saja. Bersedia belajar dari yang pintar, tapi juga bersedia belajar dari yang pandir. Melalui sapaan Sabda kali ini, saya ingin mengajak kita semua belajar dari si Bodoh.

Tapi jangan salah sangka. Yang saya sebut si Bodoh ini, samasekali tidak "bodoh" menurut ukuran kita. Menurut penuturan Lukas, tokoh kita ini amat sukses dan kaya luar biasa. Juga cepat, tepat, dan sigap memecahkan masalah.

Satu-satunya yang membuat ia pening tujuh keliling adalah, "Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku" (12:17).

Toh tidak berarti ia cuma bisa bingung tak keruan. "Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar, dan aku akan menyimpan segala gandum dan barang-barangku" (12:18). Persoalan pun selesai. Tuntas tas.

Jadi, siapa yang telah begitu bodoh mengatakan "si Hebat" ini "bodoh"? Ternyata tidak lain adalah Tuhan sendiri! Tulis Lukas selanjutnya, "Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kau sediakan, untuk siapakah itu nanti?" (12:20). Pertanyaannya, mengapa Tuhan menyebut orang itu bodoh?

Pasti bukan karena ia kaya. Kekayaan an sich, paling sedikit, adalah sesuatu yang netral. Tidak baik dan tidak jahat pada dirinya. Bahkan bisa amat positif. Kekayaan itu baik atau jahat, ditentukan oleh tiga hal yakni bagaimana cara ia peroleh: halal atau haram; apa dampaknya bagi si pemilik: menjadi pelayan atau menjadi tuan; dan untuk apa ia dimanfaatkan: untuk kebaikan dan untuk kejahatan.

Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan Tuhan menyebut "si pintar" itu "bodoh." Tiga hal penting di mana kita perlu belajar dari si Bodoh.

Pertama, orang itu disebut bodoh, karena telah mencampur-adukkan "alat" dan "tujuan." Yang semestinya "cuma" alat, eee, ia jadikan sebagai tujuan. Gerbong dijadikan lokomotif. Gerobak disuruh menarik kuda. Ya kacau balau, tentu saja.

Hidup jadi tanpa pegangan dan orientasi yang pasti. Aturan main tak ada lagi, sebab yang ada Cuma aturan yang dipermainkan. Dan tolong Anda sadari, itulah salah satu ciri khas kehidupan manusia modern masa kini. Saya tidak mengatakan alat itu tidak penting. Siapa berani mengatakan bahwa sandang, pangan, papan, kedudukan itu tidak penting? O, penting sekali!

Tapi, ingat, semua itu penting sebagai alat. Makan, adalah "alat" agar kita hidup sehat. Pakaian, adalah "alat" supaya tubuh kita terlindung dari sengatan cuaca. Dan kekayaan, adalah "alat" agar kita bisa mencukupi kebutuhan hidup kita.

Tokoh kita disebut bodoh, sebab ia begitu yakin bahwa dengan panen yang sukses dan dengan memperbesar lumbung, seluruh tujuan hidupnya telah tercapai.

Ia sudah boleh menepuk dada sambil berkata, "Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!" (12:29). Itu BODOH!, kata Yesus.

Kedua, orang itu disebut bodoh, karena dalam serba rasa berpuas diri, ia telah mengabaikan realitas saling ketergantungannya dengan sesama. Ia merasa "self-sufficient." Artinya, merasa cukup dengan dirinya sendiri.

Dalam monolognya, saya hitung, ia mengucapkan 62 kata. Di antara 62 kata itu, tidak kurang dari 14 --20 persen!-- adalah kata "aku" atau "ku."

Begitu asyik ia dengan si "aku"nya, mana sempat dan mana ada tempat lagi baginya untuk mempedulikan orang lain. Yang merisaukan hatinya adalah karena ia punya terlampau banyak. Bagaimana mungkin ia menyatukan hati dengan mereka yang tak punya apa-apa.

Martin Luther King Jr, dalam bukunya Strenght to Love, mengilustrasikan betapa seluruh umat manusia telah terjerat satu sama lain dalam satu jaringan saling ketergantungan. Setiap pagi sebelum melangkahkan kaki ke kantor, tulisnya, masyarakat Amerika telah berutang kepada separo bumi ini.

Spons yang ia pakai untuk menggosok tubuhnya, berasal dari Pasifik. Sabun mandinya buatan Prancis. Kopi yang ia hirup didatangkan dari Brasil, teh dari Srilanka, coklat dari Afrika. Handuknya eks impor dari Taiwan atau Korea. Dan seterusnya.

Benar sekali, bukan, bahwa setiap butir nasi yang masuk ke mulut kita adalah wujud ketergantungan kita kepada suatu mata rantai saling membutuhkan antar manusia yang amat panjang?

Sebab itu, jadi manusia "jangan sombong." Ojo du-meh. Seolah-olah kita bisa mencukupi diri sendiri tanpa peduli kepada orang lain. Tapi juga "jangan minder," merasa diri tak bisa menyumbang apa-apa dan tak punya makna apa-apa. Orang yang berpikir begitu, kata Yesus, ia bodoh!

Ketiga mengapa tokoh kita disebut "bodoh," adalah karena ia mengabaikan Tuhan. Dari 62 kata yang ia ucapkan, tak sekali pun ia menyebut kata "Allah" atau kata "Tuhan." Yang saya permasalahkan, tentu saja, bukanlah berapa kali orang mengucapkan kata-kata itu. Saya juga tidak mengatakan, bahwa orang tersebut tidak percaya kepada Tuhan.

Malah, kemungkinan besar, karena kekayaannya itu, ia juga merangkap sebagai tokoh agama. Yang perlu kita permasalahkan ialah, ketika dalam hidup seseorang Tuhan tidak lagi punya makna apa-apa dalam kehidupan nyata. Bila orang, walau mungkin tak mengucapkannya, bersikap bahwa Tuhan ada atau tidak ada itu tidak penting. Sebab yang akhirnya penting dan menentukan, menurutnya, bukanlah Tuhan, melainkan otak dan tangan manusia sendiri.

Artinya, merumuskan masalah dengan tepat, dan melakukan tindakan antisipatif secara cepat. Memperbesar lumbung-lumbung kita. Dan setelah itu, kata orang itu, yakinlah, Anda akan bisa berkata, "Hai jiwaku, beristirahatlah, makanlah, minumlah, dan bersenang-senanglah."

Sungguh gagah dan meyakinkan, bukan? Ya. Tapi bodoh! Karena apa yang bisa dilakukan manusia, bila Allah datang kepadanya dan berkata, "Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu. Dan apa yang telah kau sediakan, untuk siapakah itu nanti?"

Ini benar-benar merupakan peringatan telak bagi kita semua. Khususnya bagi mereka yang merasa aman, walau buron, lantaran di gudangnya bertumpuk-tumpuk emas lantakan, di bank, bertriliun-triliun uang hasil rampokannya, dan di rumah-rumah kontrakan berpeti-peti senjata api otomatis.

Mereka mungkin kuat, tapi bodoh! Begitu pula semua yang memperlakukan alat seolah-olah tujuan, yang mengabaikan kebutuhan dan hak-hak sesama, dan yang tidak mempedulikan penghakiman Tuhan. Mahkamah Agung bisa meloloskan Anda.

Hati nurani Anda yang telah mati barangkali tak lagi menuduh Anda. Tapi, percayalah, kebenaran Tuhan akan terus mengejar Anda sampai ke akhirat pun. Jangan Bodoh!



reff : http://gomtampubolon.blogspot.com/2008/11/belajar-dari-si-bodoh_15.html

Tags:

0 Responses to “BELAJAR DARI SI BODOH”

Posting Komentar

Subscribe

Berlangganan artikel via email

© 2013 Ruang Inspirasi 2015. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks